Mei 20, 2011

Marechaussee (Marsose)


Strategi gerilya yang diterapkan para gerilyawan pribumi dalam Perang Aceh (1873-1914) begitu banyak memakan korban dari pihak KNIL. Teknik bertempur konvensional yang diterapkan KNIL yaitu bertempur secara frontal dengan jumlah besar tidak efektif ketika yang dihadapi adalah para gerilyawan yang menyerang secara mendadak dan tidak terduga. Berbagai pertempuran mendadak dalam jarak dekat menjadikan persenjataan modern kala itu menjadi tidak efisien, korban semakin banyak berjatuhan yang tentunya meruntuhkan moril pasukan reguler KNIL.
Lalu munculah sebuah gagasan membentuk pasukan khusus yang efektif menghadapi gerilyawan. Pasukan yang beradaptasi dengan gaya perang kaum gerilyawan. Pasukan ini dibentuk pada tanggal 20 April 1890 dengan fungsi sebagai counter guerilla.
Menurut Paul van’t Veer, pasukan ini dibentuk atas prakarsa dari Teuku Muhamad Arif, seorang Jaksa Kepala di Kutaraja, Aceh. Pastinya Teuku Muhamad Arif adalah orang Indonesia yang pro Belanda setelah pendudukan Belanda di Aceh dimulai. Dia memberi nasehat kepada Gubernur Militer Belanda di Aceh, Jenderal van Teijn juga Kepala Staf-nya J.B. van Heutsz, untuk membentuk sebuah unit-unit tempur kecil infanteri yang memiliki mobilitas tinggi.
Untuk keperluan ini, ditunjuklah GGJ Nootten seorang kapten infantry KNIL untuk membentuk pasukan yang diberi nama Korps Marechaussee te voet (Korps Polisi Militer berjalan kaki) dan sekaligus menjadi komandan pertamanya. Pembentukan pasukan ini tidaklah sulit, tahun 1889, Komando Tentara Belanda di Aceh sudah menyusun dua detasemen pengawalan mobil yang memiliki kemampuan antigerilya.
Anggotanya direkrut dari pasukan –pasukan terbaik KNIL dari berbagai etnik , selain eropa dan afrika kebanyakan keturunan Jawa, Ambon atau Manado. Setiap unit Marsose terdiri dari 20 orang dengan dipimpin seorang sersan Belanda yang dibantu seorang kopral pribumi. Setiap pasukan biasanya terdiri dari satu peleton yang terdiri dari 40 orang dan dipimpin seorang Letnan Belanda.
Secara keseluruhan, korps Marsose terdiri dari 1.200 orang—dari berbagai bangsa. Marsose adalah pasukan gerak cepat dengan seragam hijau dengan tanda garis bengkok warna merah pada lengan dan leher terdapat gari merah. Pasukan ini, selain dipersenjatai karaben modern, juga dipersenjatai dengan senjata tradisional seperti klewang, rencong dan sebagainya. Hal ini sangat berguna dalam perang jarak dekat, man to man, seperti yang dilakukan para gerilyawan pribumi. Marsose berusaha mengikuti gaya berperang ini karena gerilya kaum gerilyawan begitu efektif menggempur KNIL yang biasa menang dalam front besar namun repot ketiuka diserang mendadak. Pasukan ini tentunya terlatih dalam peperangan di hutan menghadapi serangan gerilyawan.
Marsose bukan pasukan tempur biasa seperti yang berkembang pada pergantian abad XIX ke XX. Marsose tidak seperti KNIL, mereka memiliki karakter sendiri dalam bertempur. Mereka tidak terlalu mengandalkan senjata api, melainkan klewang mereka untuk mengahabisi lawannya dalam jarak dekat. Marsose lebih terlihat seperti jawara dibanding tentara reguler pada umumnya. Senjata api tetap mereka pegang dan akan digunakan bila keadaan terpaksa. Sepertihalnya gerilyawan, pasukan Marsose tidak memerlukan logistik yang terlalu banyak seperti pasukan biasa. Marsose selalu hampir memasuki hutan untuk mencari para gerilyawan dan sebisa mungkin menangkap pemimpinnya—perburuan itu dilakukan selama berhari-hari.
Operasi-operasi tempur yang terkenal oleh Marsose antara lain Perang Aceh (1873-1914) yang melambungkan nama Marsose sebagai pasukan yang efektif menumpas gerilya sekaligus brutal dan menakutkan, menewaskan Sisingamangaraja XII pada 17 Juni 1907 sekaligus mengakhiri perlawanan di daerah Tapanuli.

Cerita-cerita Marsose Pribumi.
Walau, Marsose pasukan elit, bukan berarti pasukan ini hanya terdiri orang Belanda maupun Eropa lain. Banyak orang pribumi yang menjadi anggota Marsose. Orang pribumi bahkan bisa menjadi Marsose yang baik dibanding orang-orang Eropa yang menjadi serdadu KNIL umumnya tidak bisa menyesuaikan diri dengan iklim tropis. Banyak diantara Marsose adalah orang-orang dengan kemampuan seperti jawara yang ada di Banten yang ahli dalam berkelahi.
Satu dari banyak anggota Marsose pribumi yang cukup diakui jasanya adalah W.C. Ferdinandus. W.C. Ferdinandus adalah pemuda kelahiran 19 Februari 1883 di Haruku, Saparua. Seperti banyak pemuda disana yang ingin bertualang sebagai serdadu KNIL, Ferdinandus pada tanggal 1 Maret 1906 mendaftarkan diri sebagai KNIL di Ambon—teeken soldadu istalahnya pada waktu itu. Pagi hari tanggal 12 Desember 1908 di Dondo—sebuah daerah di Nusa tenggara Barat sekarang ini—sekelompok Marsose bergerak. Salah satu dari mereka adalah W.C. Ferdinandus bergerak dibawah komando dari Letnan Satu de Vries untuk menyerang markas pemberontak di pantai utara. Marie Langa, pimpinan pemberontak itu membangun kubu pertahanan didekat Watoe Ngere. W.C. Ferdinandus adalah salah satu dari sekian banyak pasukan dari Letnan Satu De Vries. Pasukan yang dipimpin De Vries itu terdiri dari tiga brigade Marsose dengan kekuatan 50 karaben. Dan sekelompok strapan yang terdiri dari tiga puluh orang.
Pasukan beserta strapannya itu berangkat ke Nio Panda, mereka tiba pukul 2 sore. Mereka beristirahat, sebelum bergerak pada pukul 22.00 malam. Malam itu, De Vries, memimpin pasukannya mengintai benteng musuh itu dari atas. Dalam kegelapan malam mereka bergerak. Mereka melintasi jalan yang berat dan terjal. Mereka mencapai daerah tujuan mereka denganm susah payah dan dari jauh mengintai lawan mereka dalam kegelapan malam itu.
Pada pukul 8 pagi, 12 Desember 1908, Letnan Satu de Vries membagi tiga pasukannya, satu pasukan dibawah sersan van Rijen, satu pasukan dibawah pimpinan sersan Ambon dan satu pasukan lagi dibawah pimpinan Kopral Katuuk. Ketiga pasukan itu bergerak mengelilingi benteng diam-diam. W.C. Ferdinandus adalah Marsose pertama yang menaiki benteng. Didalam benteng, W.C. Ferdinandus dan penyerang lain berhasil menembak tiga musuh dalam benteng dan membuat gerilyawan lain melarikan diri ke utara, sementara itu di utara sudah menunggu pasukan pimpinan Kopral Katuuk. Akhir dari serangan itu adalah, beberapa musuh melarikan diri dan benteng direbut. Majalah Trompet juga pernah menampilkan profil salah prajurit marsose lain, salah satunya dalah Robert Talumewo. Pemuda dari Langoan kelahiran 11 September 1882 dan teeken soldadu pada 6 Agustus 1904 di Manado. Karena keberaniannya ketika menjadi serdadu reguler biasa di KNIL, dia akhirnya dimutasikan ke Marsose.
Ada Marsose Jawa bernama Redjakrama. Pemuda kelahiran Kedungwaru, Bagelen—Kabupaten Purworejo sekarang—tahun 1867. Diusianya yang ke-18, tahun 1885 dia teeken soldadu di Gombong. Setehun kemudian Redjakrama dikirim ke Aceh untuk pertama kalinya. Tahun 1887 Redjakrama ditempatkan di Sulawesi. Tanggal 21 Desember 1888, Redjakrama resmi menjadi kopral dan 2 Oktober 1890 sudah menjadi seorang sersan. Sebuah prestasi hebat untuk seorang pemuda kampung yang tidak terpelajar macam dirinya. Pada 2 Oktober 1901, Redjakrama dimutasikan ke Marsose. Sebagai Marsose Redjakrama telah menunjukan keberaniannya—seperti yang dimuat dalam majalah Trompet. Pada 26 Juni 1904, Sersan Redjakrama ditugaskan di daerah Beureuleueng, Pidie—Nangroe Aceh Darussalam sekarang.
“Sementara berkelahi ini, maka satu bahagian dari kumpulan musuh darai Pang Andahtahan sekuat-kuatnya didalam dua rumah dari sini mereka pasang pada Marsose. Cuma dengan pendek saja, pasangan dari musuh dibalas oleh Marsose, lantas Marsose tarik jatuh dinding dari kedua rumah. Ini pekerjaan dikerjakan oleh brigade, dimana terdapat sesan Redjakrama yang telah enam bulan lamanya pegang komando dari brigade ini yang telah menunjuk gagah beraninya. Ini onderofficer biasa terdapat ditempat-tempat yang ada dan sikapnya ada satu contoh yang bagus buat soldadu-soldadu. Yang perlu sabar dan tiada hilang otak sehat, sebab brigade terdiri dihadapan musuh yang tahan dengan sekuat-kuatnya dirumah-rumah dimana seperti dekking, musuh memakai karung-karung dengan beras. Contoh yang gagah berani dari sesan Redjakrama yang pertama kali masuk rumah, ada sebegitu rupa sehingga dituruti oleh brigade, yang bikin kalah musuh dan sesungguh-sungguhnya.”
Cerita keberanian yang juga dimuat di Majalah Trompet adalah Simon Leiwakabessy. Ia pensiunan kopral yang tinggal di Ambon. Leiwakabessy lahir di Tial, Ambon pada 25 Januari 1870 dan teeken soldadu di Ambon pada 8 Maret 1894. sebelum ditempatkan di Marsose, Leiwakabessy termasuk anggota pasukan dari Batalyon 3 yang beberapa kali pindah tugas dibeberapa tempat di Indonesia.
“Overvalling musuh disebelah selatan dari Cot Bamboton (Troeseb Pidie) pada tanggal 24 Agustus 1903. Agar supaya menyemu musuh, maka keluarlah Letnan Darlang pada tanggal 24 Agustus jam 3 pagi dari Didok dengan satu brigade ke selatan dari Troeseb yang terdapat di terrain yang berbukit-bukit. Yang lain brigadenya mendapat opdract pada jam 7 pagi marsch ke lapang, disebelah dari kaki utara dari bukit-bukit dan disana diajak musuh dengan vurren yang biasa dari pihak itu mereka pasang pada compagnie. Waktu pagi hari, maka Letnan Darlang 2 orang Aceh Aceh disatu cot boleh jadi ini 2 orang ada Wachtpost dari musuh. Dengan tiada diketahui oleh musuh, maka brigadenya Letnan Darlang di itu bukit dan dengan ati-ati naik keatas. Sampai dekat diatasnya bukit, maka kelihatan 10 orang Aceh, yang ada tidur ditanah. Tempo satu dari diantara musuh bangun dan berdiri dan tunggu lama tiadalah baik, bertentangan dengan mereka boleh lihat di compagnie maka Darlang dan beberapa Marsose-nya storm pada musuh. Marsose Leiwakabessy yang oleh sebab kurang kader dan juga oleh sebab gagah berani-nya dan cepat biasanya ditunjuk seperti komandan dari spits lari kemuka dengan lewati 2 temannya dan sekonyong-konyong berada ditengah-tengah dari musuh yang lari. 2 orang musuh ditembak mati oleh Leiwakabessy. Tempo Leiwakabessy lihat, bahwa lain-lain musuh lari kebawah, maka dengan beberapa temannya dari spits ia ambil jalan pendek dan potong pas dari musuh. Dengan ini, maka ia tembak lagi 4 orang musuh mati. Oleh sebab gagah beraninya dari Leiwakabessy, maka jatuh didalam tangan kita 6 orang musuh dengan senjata-senjatanya, 3 beamont dan 3 senapan voorlaad.”
Stephanus Melfibossert Anthony pemuda kelahiran 3 Juni 1872 di Ambon dan teeken Soldadutanggal 27 Agustus 1890 di Ambon. S.M. Anthony terpilih untuk dimasukan ke korps Marsose pada 13 April 1897 lalu terlinbat dalam ekspedisi militer KNIL di beberapa tempat seperti Aceh, Timor juga Sulawesi Selatan. Dia memiliki cerita keberaniannya sebagai seorang Marsose dalam benteng Sala Banga di daerah Mandar, Sulawesi Selatan. Peristiwa oitu terjadi pada 20 Oktober 1914.
“Waktu bestorming benteng tersebut, maka naiklah kopral Anthony, biarpun musuh tahan dengan begitu kuat dan lawan pada compagnie dengan gagah berani stormladder dan biasa pertama dimuka waktu bongkar rintangan-rintangan dimana pekerjaan ini menuntut banyak kekuatan. Sesudahnya dengan banyak susah pekerjaan lamanya satu setengah jam dikerjakan dan satu lubang diborstwering dibikin, maka dengan segera Anthony storm kemuka dengan lagti 3 militairen lain kedalam benteng. Sesudahnya itu ia pasang pada musuh yang dekat padanya, sehingga mereka tiada bisa apa lagi, sehingga troep dibelakang bisa mendapat kesempatan ke borstwering.”
Masih banyak lagi cerita heroik yang menggambarkan keberanian para Marsose pribumi—dimata masyarakat kolonial—yang termuat di majalah Trompet. Marsose-marsose pribumi tadi telah membuktikan bahwa dirinya adalah seorang prajurit yang membela bendera Ratu Belanda. Bagaimanapun, Marsose pribumi adalah bagian penting dalam korps Marsose, dari segi jumlah pastinya lebih banyak dan sebagai prajurit rendahan mereka siap melakukan hal-hal berat yang mungkin saja tidak mau dilakukan oleh perwira maupun bintara Belanda. Sebagai prajurit mereka siap untuk melawan siapa saja yang menajdi musuh ratu Belanda di Hindia Belanda. Mereka tidak takut melawan siapa saja termasuk gerilyawan di Aceh. Perang Aceh dan gerilyawannya yang tidak kenal menyerah adalah bagian terpenting dalam sejarah Marsose selain korps dan anggota Marsose itu sendiri.
Referensi :
2.    http://nl.wikipedia.org/wiki/Atjehoorlog 21/05/11 11:47 WIB
3.    http://id.wikipedia.org/wiki/Marsose 21/05/11 11:47 WIB

Jepang Menduduki Toba Samosir (1942)

Toba Samosir adalah sebuah kabupaten di Provinsi sumatera Utara dengan ibukota Balige.  Pada akhir tahun 1930an, ketika masih dalam kekuasaan Belanda, daerah Toba Samosir termasuk kedalam Daerah Tingkat II Toba dengan ibukota Balige, berpenduduk 125.000 jiwa, diurus oleh seorang kontrolir yang didampingi aspiran, seorang inspektur polisi, 2 demang, 4 asisten demang, dan  45 raja atau kepala negeri, yang berdasarkan keturunan dipilihmenjadi kepala suatu daerah dimana marganya paling menonjol.

Persiapan menghadapi kedatangan Jepang
Semenjak pemboman Jepang terhadap Pearl Harbour, pemerintah Belanda di Balige sudah mulai mempersiapkan diri menghadapi  perang dengan menggali  lubang-lubang perlindungan di daerah pedalaman. Namun suasana kehidupan masih berjalan normal, dan roda pemerintahan Daerah Tingkat II Toba dengan kotrolir van de Velde dan Inspektur polisi van der Maas masih berjalan dengan normal.
Pada 22 januari 1942 sebuah pesawat terbang amfibi tiba-tiba mendarat di Danau Toba dekat Balige, ternyata pesawat tersebut adalah pesawat terbang  Belanda yang sedang menyelidiki kemungkinan  mendaratnya pesawat terbang Jepang  dan  mengatur  persiapan jika seandainya Jepang benar-benar datang dengan pesawat terbang. Sebuah meriam penangkis udara ditempatkan di tepi danau, menyusul kedatangan seorang perwira pada tanggal 15 Februari  yang mempersiapkan penempatan satu kompi tentara di Balige.
Pertengahan Maret 1942 suasana di di sekitar Balige sampai ke Porsea sudah semakin  dekat dengan ancaman perang. Satu kompi tentara dibawah Kapten Klaas ten Velde sudah ditempatkan di Balige beserta tiga unit tank, satu seksi dibawah Letnan ten Bosch ditugaskan untuk memusnahkan sebuah jembatan gantung di Asahan, arah hilir dari Porsea. Sedangkan satu seksi tentara dibawah pimpinan Letnan Been ditempatkan di Porsea, dan dibawah  jembatan yang membentangi sungai  Asahan dipasang dinamit untuk  diledakkan sebelum tentara Jepang datang. Persiapan yang dilakukan  dalam menghadapi kedatangan sedadu Jepang cukup memprihatinkan, karena sebelumnya  Balige tidak pernah dipersiapkan secara militer, dan ditambah lagi tentara yang mempertahankan Balige adalah orang-orang perkebunan, guru, pegawai kantor, dan pedangang dari Medan yang tiba-tiba harus jadi militer.

Jalannya pertempuran
Jumat malam 13 Maret, serangan tentara Jepang dimulai atas Porsea, namun tentara Belanda gagal mempertahankan Porsea, bahkan  jembatan tidak sempat diledakkan, karena ternyata tentara Jepang secara tak terduga dalam kegelapan malam bergerak lewat danau dengan menggunakan perahu motor yang dirampas di Prapat, serta beberapa buah perahu dengan membawa seorang  penduduk  sebagai penunjuk jalan.  Mereka selanjutnya mendarat dibelakang garis pertahanan tentara Belanda yang  tidak menduga sebelumya, sehingga terjadilah kekacauan yang begitu besar. Pasukan Belanda kocar-kacir dan dengan bersusah payah menyelamatkan dirinya masing-masing.
Setelah matahari  terbit, Letnan van der Ploeg berangkat ke Porsea dengan salah satu dari tiga tank untuk menyelamatkan  tentara yang mungkin masih hidup, namun tidak ditemukan seorang pun. Ketika tentara Jepang mulai menembak dari jembatan, tank itu mundur dan kembali ke Balige. Beberapa saat kemudian dari seorang penduduk  diketahui, bahwa semua tentara Belanda yang berhasil ditawan oleh tentara Jepang, telah dihabisi dengan bayonet dan mayatnya dibuang ke Sungai Asahan.
Setelah Porsea jatuh ketangan tentara Jepang, maka pertahanan pun dipusatkan di Laguboti sejak pukul 9 pagi, untuk menghadang tentara Jepang sebelum sampai ke Balige. Laguboti dipertahankan dengan menempatkan dua dari tiga tank yang ada di Balige dibawah Letnan van der Ploeg, ditambah dengan satu seksi pasukan dibawah Letnan ten Bosch yang telah kembali dari Asahan. Sampai menjelang siang kira-kira pukul 11, tidak terdengar kabar dari tentara Belanda di Laguboti, hingga timbul kepanikan di Balige, apalagi tersiar kabar bahwa Laguboti telah jatuh ke tangan tentara Jepang, dan seluruh pasukan serta tank yang ada disana telah dihancurkan. Kapten Klaas ten Velde memutuskan untuk mundur kearah Siborong-borong beserta sisa kompinya dan meledakkan jembatan di atas jurang  Tanggabatu 3 km dari Balige untuk memperlambat laju tentara Jepang, sehingga yang tersisa di Balige adalah Kontrolir van de Velde dan Inpektur polisi van der  Maas serta para pejabat sipil lainnya.
Namun sekitar pukul 12 tengah hari, Letnan van der Ploeg yang ternyata berhasil lolos dari pertempuran Laguboti tiba di Balige dengan kedua tanknya, setelah mengetahui bahwa komandannya telah mengundurkan diri ke Siborong-borong, ia pun memutuskan untuk menyusul kesana. Demikian akhirnya Balige ditinggalkan tanpa perlawanan.

Toba Samosir Jatuh ke Tangan Jepang
Sekitar jam 1 siang barisan besar tentara Jepang dengan berjalan kaki, sebagian mempergunakan mobil dan sepeda-sepeda hasil rampasan selama perjalanan, tiba di Balige dan menawan para pejabat sipil dan inspektur polisi. Selanjutnya, orang-orang Belanda dipindahkan ke Soposurung daerah perbukitan dekat Balige dan diijinkan untuk tetap menjalankan pemerintahan sipil di Toba hingga akhirnya tanggal 14 Mei para pria diinterniran di penjara Balige, sedangkan wanita dan anak-anak diinterniran di Hepata. Pertengahan Desember 1942, seluruh orang interniran Belanda didindahkan ke Belawan.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_1942-1945,  3/3/2010, 20:09 WIB
Surat-surat dari Sumatera 1928-1949. Jan Johannes van der  Velde. Pustaka Azet . 1987
http://www.tobasamosirkab.go.id,  5/3/2010, 01:30 WIB

Idjon Djanbi

Mayor Moh. Idjon Djanbi
Karir di militer Belanda
Mochammad Idjon Djanbi lahir di Kanada  sekitar tahun  1915 dengan nama Rokus Bernardus Visser. Terlahir sebagai putra seorang petani Tulip yang sukses. Selepas menyelesaikan kuliahnya, Visser muda membantu ayahnya berjualan bola lampu di London. Ketika itu perang dunia kedua dimulai dan karena tidak bisa pulang ke Belanda yang dikuasai oleh Jerman, Visser mendaftarkan pada dinas Ketentaraan Belanda yang mengungsi ke Britania dan membentuk kekuatan baru disana. Setelah itu dia ditugaskan menjadi sopir Ratu Willamena. Setelah setahun di pos  tersebut dia mengundurkan diri dan mendaftarkan diri di sebagai operator radio (Radioman) di pasukan Belanda ke 2 (2nd  Dutch Troop). Bersama dengan pasukan sekutu, Visser merasakan operasi tempurnya yang pertama, yaitu Operasi Market Garden*  pada bulan September 1944, saat itu pasukan Belanda ke 2 bagian dimana Visser berada, dimasukan dalam Divisi Lintas Udara 82 Amerika Serikat. Diterjunkan melalui pesawat layang Visser dan teman-teman Amerikanya mendarat di bagian dengan konsentrasi pasukan Jerman tinggi. Dua bulan kemudian saat dikumpulkan kembali, Visser digabungkan dengan pasukan sekutu yang lain dan melakukan operasi pendaratan amphibi di Walcheren, sebuah kawasan pantai di Belanda bagian selatan.
Karena dianggap berprestasi maka dia disekolahkan di sekolah Perwira sebelum di kirim ke Asia. Selanjutnya Viser dikirmkan ke sekolah pasukan para di India dan dimaksudkan bergabung dengan pasukan untuk memukul kekuatan Jepang di Indonesia. Kekalahan pasukan Jepang pada 1945 mengakhiri perang dunia ke 2 dan Jepang mundur dari Indonesia sebelum pasukan Visser sempat dikirimkan ke Indonesia. Mundurnya Jepang dari Indonesia membuka peluang kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia. Karena keadaan di Belanda sedang kacau dan mereka tidak mampu mengirimkan pasukan dari Eropa ke Indonesia, maka mereka berusaha membentuk kesatuan unit khusus di India dengan mendirikan School voor Opleiding van Parachutisten (sekolah pasukan terjun payung) dan pasukan ini dikirim ke Jakarta pada 1946. dibawah pimpinan letnan Visser, sekolah ini kemudian di pindah ke Jayapura (Hollandia) di Irian Jaya yang waktu itu dinamakan Dutch west Guinea oleh Belanda , menempati sebuah bangunan rumah sakit amerika yang telah ditinggalkan oleh pasukan Douglas Mc Arthur.
Dengan segala kondisi yang ada Visser ternyata menyukai hidup di Asia,sehingga dia meminta istrinya (wanita inggris yang dinikahinya semasa perang dunia 2) dan keempat anaknya untuk ikut dengannya ke Indonesia. Ketika istrinya menolak, Visser memilih untuk bercerai. Saat kembali ke Indonesia pada 1947, Sekolah pimpinannya sudah dipindah ke Cimahi, Bandung dan Viser dipromosikan naik pangkat menjadi kapten. Selama tahun 1947 sampai akhir 1949 , Sekolah pimpinan Kapten Visser terus melahirkan tentara terjun payung sampai saat dimana Belanda harus menyerahkan kekuasaaanya kepada Republik Indonesia. Karena sudah merasa nyaman dengan gaya hidup Asia, maka Kapten Visser memutuskan untuk tinggal di Indonesia sebagai warga sipil. Keputusan ini sangat berisiko, karena walaupun dia bukan termasuk pasukan baret hijau Belanda yang dikenal sangat kejam (Visser sendiri berbaret merah), tapi tidak ada yang bisa meramalkan bagaimana keamanan seorang mantan perwira penjajah di negara jajahanya yang baru saja merdeka. Akhirnya dia menetapkan keputusannya untuk tinggal di Indonesia, pindah ke Bandung , bertani bunga di Pacet, Lembang, memeluk agama Islam, menikahi kekasihnya yang orang Sunda dan mengubah namanya menjadi Mochammad Idjon Djanbi.

Membentuk pasukan khusus Indonesia
Pengalaman Idjon Djanbi sebagai anggota pasukan komando pada Perang Dunia II telah menarik perhatian Kolonel A.E. Kawilarang untuk membantu merintis pasukan komando. Idjon Djanbi kemudian aktif di TNI dengan pangkat mayor. Idjon segera melatih kader perwira dan bintara untuk menyusun pasukan.
Kemudian pada tanggal 16 April 1952 dibentuklah pasukan istimewa tadi dengan nama Kesatuan Komando Teritorium Tentara III/Siliwangi (Kesko TT. III/Siliwangi) dengan Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi sebagai komandannya.
Karena satuan Komando ini perlu didukung dengan fasilitas dan sarana yang lebih memadai dan operasional satuan ini diperlukan dalam lingkup yang lebih luas oleh Angkatan Darat, maka Kesko TT. III/Siliwangi beralih kedudukan langsung dibawah komando KSAD bukan dibawah Teritorium lagi dan pada bulan Januari tahun 1953 berganti nama menjadi Kesatuan Komando Angkatan Darat (KKAD). Pada tanggal 29 September 1953 KSAD mengeluarkan Surat Keputusan tentang pengesahan pemakaian baret sebagai tutup kepala prajurit yang lulus pelatihan Komando.
Latihan lanjutan Komando dengan materi Pendaratan Laut (Latihan Selundup) baru bisa dilakukan pada tahun 1954 di Pantai Cilacap Jawa Tengah.
Pada tanggal 25 Juli 1955 KKAD berubah namanya menjadi Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat (RPKAD). Yang menjadi komandan adalah Mayor Mochammad Idjon Djanbi.
Untuk meningkatkan kemampuan prajuritnya, tahun 1956 RPKAD menyelenggarakan pelatihan penerjunan yang pertama kalinya di Bandung. Mengingat Indonesia adalah negara kepulauan, maka Mayor Infanteri Mochammad Idjon Djanbi menginginkan agar prajurit RPKAD memiliki kemampuan sebagai peterjun sehingga dapat digerakkan ke medan operasi dengan menggunakan pesawat terbang dan diterjunkan di sana. Lulusan pelatihan ini meraih kualifikasi sebagai peterjun militer dan berhak menyadang Wing Para.

Berhenti dari pasukan khusus
Pada tanggal 25 Juli 1955, wapres Moh. Hatta meresmikan peningkatan KKAD menjadi RPKAD dan dikepalai tetap oleh Mayor Mochamad Idjon Djanbi dengan Kastaf Mayor Djaelani yang juga merangkap sebagai Komandan SPKAD (sekolah Pasukan Komando Angkatan Darat) dibantu oleh Letnan LB Moerdani sebagai wakilnya.
Di bawah pimpinan Mayor Djaelani dan wakilnya LB Moerdani, pendidikan komando mulai memperlihatkan hasil yng cukup memadai walaupun banyak kekurangan tenaga pengajar maupun dana, dan hal tersebut melipatgandakan keefektifan tempur pasukan.
Pada saat operasi penumpasan DI/TII, komandan pertama, Mayor Idjon Djanbi terluka, pimpinan MABESAD melihat celah untuk mengambil alih kepemimpinan di RPKAD ke orang asli pribumi tetapi hal tersebut tercium oleh Mayor Djanbi, dan setelah Djanbi ditawarkan  jabatan baru yang jauh dari pelatihan komando, Mayor Djanbi marah dan meminta pensiun.
Kebetulan pada saat itu di tahun 1956, Indonesia sedang aktif menasionalisasi perusahaan-perusahaan milik asing dan Moh Idjon Djanbi yang sudah menjadi WNI diberi jabatan mengepalai perkebunan milik asing yang dinasionalisasi.
Tetapi ia tetap tidak pensiun sebagai anggota RPKAD (di"karyakan"), pada 1969 pada saat ulang tahun RPKAD Mayor Moh. Idjon Djanbi diberi kenaikan pangkat menjadi Letnan Kolonel.

…………………….. Operasi Market Garden, adalah operasi yang dilancarkan oleh sekutu dibawah pimpinan Jenderal Bernard Montgomery dari Inggris pada bulan September tahun 1944. Operasi ini bertujuan merebut dan menguasai jembatan-jembatan di garis belakang musuh (Jerman saat itu masih menguasai Belanda) sehingga bisa dengan mudah masuk ke Jerman melewati sungai Rhine untuk menguasai lembah Ruhr (pusat industri) di Jerman dengan menerjunkan ribuan pasukan payung di negara Belanda.

Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Idjon_Djanbi                  

Mei 19, 2011

Speciale Troepen (DST, RST & KST)

Depot Speciale Troopen (DST) adalah pasukan komando bagian dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang mulai dirintis di Indonesia 1946, komandan pertama dari pasukan ini adalah Kapten Schepens yang terluka pada penugasan DST pertama di sekitar Batavia pertengahan 1946. Selanjutnya dia digantikan oleh Letnan (selanjutnya menjadi kapten) Raymond Westerling yang terus membentuk pasukan ini hingga semakin kuat. Akhir tahun 1948 Westerling kemudian digantikan Letnan-Kolonel van Beek hingga Maret 1949 Letnan-Kolonel Borghouts  menjadi komanadan terakhir. Dibawah komando Westerling pasukan ini banyak terlibat kontak dengan laskar pemuda di Medan sebelum akhirnya diterjunkan ke Zuid Celebes/Sulawesi Selatan.
Reputasi DST menjadi terkenal karena kekejamannya di Sulawesi, pasukan ini dilatih keras dengan kemampuan counter guerilla untuk menghadapi gerilyawan Indonesia. Anggota DST direkrut dari prajurit reguler terbaik, kemudian mendapat pendidikan khusus komando. Akhirnya terpilihlah 150 prajurit terbaik, di antara mereka terdapat orang-orang Indo dan Maluku.
Menurut kesaksian Peter van Haalem mantan DST yang semula sebagai prajurit sukarela ditugaskan di Semarang. Setelah lolos seleksi KST, dia selanjutnya menjalani pendidikan komando di Polonia. “Pendidikannya sangat berat,” tulis Van Haalem.
Sementara Van Groenendaal yang juga mantan DST menambahkan bahwa pendidikan komando selain menguji ketahanan fisik hingga ambang batas, juga mental. “Segala jenis rasa ngeri dan takut yang dimiliki oleh manusia umum, dalam pendidikan komando itu diajari untuk bisa mengendalikannya. Dan jika seseorang telah menyelesaikan pendidikan komando ini, maka dia sudah siap…”Westerling sebelum berangkat ke Sulawesi bahkan mengingatkan “kalau ada di antara kalian yang tidak sanggup berjalan dalam genangan darah sampai polok kaki  (enkel), maka katakan sekarang juga bahwa kalian tidak sanggup. Namun saat itu tidak ada prajurit yang mengundurkan diri,” (Andere Tijden)
Pada tanggal 7 Desember 1946 pasukan ini membantai banyak warga sipil di Sulawesi Selatan. Bahkan tentara Belanda "asli" yang didatangkan dari Belanda pun protes atas kelakuan brutal pasukan ini.
Setelah penugasan di Sulawesi yang dianggap “sukses” DST terus ditingkatkan kekuatan dan kemampuannya.  School Opleiding Parachutisten (sekolah penerjun payung)  didirikan pada 15 Maret 1946 di Cimahi Jawa Barat dan berada dibawah Korps Speciale Troepen, sebagai salah satu tempat pendidikan. Jenderal Spoor, Panglima Militer Hindia Belanda menyadari efektifnya pasukan payung dalam sebuah operasi militer. Apalagi dalam merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Republik Indonesia. Oleh karena itu dibentuklah sekolah penerjun militer School Opleiding Parachutisten (SOP) Tjimahi dengan siswa gelombang pertama sebanyak satu kompi berasal dari pasukan DST.
Siswa-siswa ini terbang dengan pesawat C-47 Militaire Luchtvaart dari lapangan terbang Andir Bandung. Mereka melompat dari ketinggian 900 kaki di atas langit Cimahi dan mendarat di sebuah lapangan militer kota itu (sekarang lapangan ini sudah menjadi perumahan dan pasar di Jalan Sriwijaya Cimahi).
Setelah mendapat pendidikan, gelombang pertama lulus pada 1 Mei 1947 dan berhak mendapat wing penerjun. Tanggal 7 dilantik oleh Jenderal Spoor pada sebuah acara di lapangan terbang Cililitan (sekarang Lanuma Halim Perdanakusumah), sebagai 1st  Parachutisten Compagnie dan mendapat baret khas warna merah marun
Pada Januari 1948 dibentuk Korps Speciale Troepen (KST) dengan pasukan inti dari DST  berbaret hijau berkekuatan 570 pasukan dan 1st Parachutisten Compagnie berbaret merah marun  berkekuatan sekitar 250 pasukan, dalam perkembangannya KST mencapai kekuatan 1250 pasukan yang terdiri atas sukarelawan perang Belanda, Indo Eropa dan pribumi Indonesia termasuk orang Maluku.
Operasi pertama gabungan dari DST dan 1st Parachutisten Compagnie dilakukan ketika merebut Yogyakarta dengan nama Operatie Kraai. Setelah Yogya, pasukan Para juga terjun di Sumatera Tengah. Pada 29 Desember 1948 merebut kota Jambi dan 5 Januari 1949 di Rengat dan Air Molek. Tanggal 10 Maret 1949 mereka kembali terjun di Jawa Tengah. Kali ini dilakukan oleh Kompi 2 (2e Para Compagnie), di lapangan terbang kecil Gading di tenggara luar kota Yogya. Tujuannya merebut stasiun pemancar radio perjuangan, milik Republik di sekitar Wonosari. Pada tanggal 15 Juli 1949, DST dan Parachutisten Compagnie  digabungkan dan Korps berubah menjadi Regiment Speciale Troepen.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember1949, pasukan ini menolak dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Mereka bersikeras menjadi Tentara Negara Pasundan, negara boneka bentukan Belanda yang akan dibubarkan. Karena tuntutannya ditolak, tanggal 23 Januari 1950 mereka berontak dan mengacau di kota Bandung. Dipimpin mantan komandannya, Kapten Westerling, mereka menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Setiap anggota TNI yang mereka jumpai langsung dibunuh. Akibat serangan mendadak ini jatuh korban 79 prajurit TNI gugur.
Pada tanggal 20 Juli 1950 KNIL didemobilisasi (dibubarkan), termasuk resimen ini. Pasukan komando Belanda yang ada saat ini yaitu Korps Commando Troepen (KCT), merupakan penerus dari Korps Speciale Troepen atau Regiment Speciale Troepen (KST/RST). Demikian juga dengan SOP Tjimahi turut ditutup setelah bubarnya KNIL.

Referensi :                                    
4.       Nederlandsindie.com

Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL)

KNIL suku Jawa


Pada tanggal 4 Desember 1830 setelah berakhirnya Perang Diponegoro, Gubernur Jenderal van den Bosch mengeluarkan keputusan yang dinamakan "Algemeene Orders voor het Nederlandsch-Oost-Indische leger" di mana ditetapkan pembentukan suatu organisasi ketentaraan yang baru untuk India-Belanda, yaitu Oost-Indische Leger (Tentara India Timur) dan pada tahun 1836, atas saran dari Willem I, tentara ini mendapat predikat “Koninklijk.” Namun dalam penggunaan sehari-hari, kata ini tidak pernah digunakan selama sekitar satu abad, dan baru tahun 1933, ketika Hendrik Colijn –yang juga pernah bertugas sebagai perwira di Oost-Indische Leger- menjadi Perdana Menteri, secara resmi tentara di India-Belanda dinamakan Koninklijk Nederlands-Indisch Leger, disingkat KNIL.
Perekrutan prajurit bawahan KNIL dilakukan hanya dibeberapa tempat saja di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, seperti memiliki kebijakan tidak tertulis, hanya merekrut prajurit KNIL dari daerah-daerah yang tidak terjadi pergolakan—atau setidaknya, selama beberapa waktu tidak memiliki permusuhan dengan pemerintah kolonial. pemuda-pemuda dari daerah-daerah sekitar Ambon, Menado, Minahasa adalah lokasi perekrutan ideal, sebelum akhirnya orang-orang Jawa dengan adanya basis militer Belanda di Gombong.
Satuan militer ini pada awalnya terdiri dari 8 Mobile Corps, dimana tiap Corps tersusun atas :
a. 1 batalion infantri
b. 1 batalion kavaleri
c. 4 unit artileri gunung
Dimana komposisi kekuatannya adalah 600 orang Eropa totok, 37 perwira pribumi, serta 12,905 non-commissioned officers (NCO) beserta pangkat dibawahnya.
Kekuatan KNIL lama kelamaan makin berkembang yaitu 20.000 personel pada tahun 1840, 29.800 pada tahun 1882 dan 36.900 di 1930. Perbesaran kekuatan ini salah satu sebabnya adalah penanganan konflik di berbagai daerah yang terjadi pada waktu itu di wilayah Hindia Belanda. Pada bulan Mei 1940, KNIL tersusun atas 1.345 perwira reguler dan juga 35.583 NCO dan juga prajurit dengan pangkat dibawahnya. Apabila dijumlahakan dengan perwira cadangan serta prajurit lokal maka angka yg bisa diperoleh adalah 3.200 perwira dan 73.000 NCO dan prajurit dengan pangkat dibawahnya. Ketika Pemrinntah Kerjaan Belanda mengumumkan perang dengan Jepang pada 8 Desember 1941, KNIL kemudian dimobilisasi. Ketika Jepang mulai mendesak militer Belanda di Hindia Belanda, banyak dari personel KNIL yang melarikan diri dan diungsikan oleh Pemerntah Belanda ke Australia.
Setelah penyerahan Jepang kepada Sekutu, KNIL kemudian dikonsolidasi kembali untuk menegakkan kekuasaan Belanda kembali di Indonesia dan terlibat dalam dua aksi militer besar Belanda pada tahun 1947 dan 1948 yang dikenal dengan Agresi Militer Belanda I dan II. Usaha ini gagal setelah pengakuan kedaulatan Indonesia 27 Desember 1949.
Dengan berdirinya negara Republik Indonesia dan TNI serta diakui kedaulatannya oleh Belanda , maka pada tahun 1950 KNIL dibubarkan. Berdasarkan keputusan kerajaan tanggal 20 Juli 1950, pada 26 Juli 1950 pukul 00.00, setelah berumur sekitar 120 tahun, atau KNIL dinyatakan dibubarkan. Berdasarkan hasil keputusan Konferensi Meja Bundar, mantan tentara KNIL yang jumlahnya diperkirakan sekitar 60.000 yang ingin masuk ke "Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat" (APRIS) harus diterima dengan pangkat yang sama. Beberapa dari mereka kemudian di tahun 70-an mencapai pangkat Jenderal Mayor TNI. Jumlah orang KNIL dari Ambon diperkirakan sekitar 5.000 orang, yang sebagian besar ikut dibawa ke Belanda dan tinggal di sana sampai sekarang.

Isu Agama dalam KNIL
Masalah agama juga menjadi sumber perbedaan diantara kalangan KNIL sendiri. Sekitar 7.500 personil KNIL adalah orang-orang Katolik, baik Eropa totok maupun Eurasia. Kalangan katolik dalam KNIL ini mendapat perhatian dari kaum misionaris Eropa yang menyebarkan agama katolik di Indonesia. keuntungan mendapat kenaikan gaji, dengan menjadi seorang kristen menjadi sesuatu yang menarik bagi prajurit rendahan—kendati tidak semua prajurit rendahan pribumi melakukannya.
Masalah kedisiplinan religius yang besar harus dihadapi imam serdadu kolonial itu terkait kebiasaan memelihara nyai didalam tangsi.
Pernah ada keinginan dari beberapa prajurit KNIL agar mereka tidak lagi disatukan berdasarkan suku melainkan kesamaan agama. Dalam KNIL pengarush agama protestan, meski tidak dianut oleh sebagian besar serdadu KNIL, adalah sebuah agama yang dominan—seperti yang dianut beberapa serdadu KNIL Ambon.
Seorang pater bernama H.C. Verbraak yang pernah terlibat dalam rehabilitasi serdadu KNIL tahun 1882 yang ditangkap lagi setelah desersi menulis: “Pagi ini salah seorang desertir berdamai kembali dengan Allah. Ia berhasil mealrikan diri bersama seorang teman selam tiga minggu. Mereka mengalami penderitaan kejam diantara orang-orang Aceh, dan malah jauh lebih menyedihkan lagi para desertir ini menganut agama Islam. Orang-orang ini tergoda oleh rumor palsu mengenai kehidupan mewah diantara orang-orang Aceh. Barangkali tidak ada lagi keinginan untuk hidup diantara orang-orang Aceh.”. 
Pemerintah kolonial berusaha menegakan disiplin tentara dengan menggunakan imam iman katolik mungkin juga pendeta protestan. Semuanya, diharapkan oleh pemrintah, akan menghindari desersi serdadu kolonial ytang sangat dibutuhkan dalam penegakan kedaulatan Hindia Belanda—yang kerap dirong-rong oleh orang-orang lokal anti koloniliasi Belanda yang datang tanpa bisa ditebak kapan akan terjadi.
Agama barat itu diserap dengan sangat baik oleh banyak serdadu KNIL, khususnya yang berasal dari Ambon, Menado, Minahasa. Hingga berakhirnya KNIL banyak serdadu KNIL, bila memang beragama, adalah penganut protestan atau katolik. Mereka nyaris tidak bisa menyatu dengan prajurit TNI yang mayoritas dan dominan dengan dengan kultur Islam—yang diantara menganut Islma kejawen.
Perbedaan agama dengan mayoritas pribumi itu bisa jadi menjadi faktor selain politis dan ekonomis yang membuat mereka begitu ingin bertempur dengan tentara Indoensia yang umumnya berbeda keyakinan dengan mereka. Dimana pada akhirnya banyak bekas serdadu KNIL yang lebih memilih meninggalkan Indoesia tanpa harus berpikir dimana tanah air mereka sebenarnya. Salah satu harapan, mereka tidak perlu pusing untuk hidup dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka. Didepan mata mereka, sudah muncul suatu ramalan, dominasi agama besar yang berbeda dengan mereka akan membuat mereka menjadi korban diskriminasi sosial dimasyarakat dimasa mendatang.

Isu Ras dalam KNIL
KNIL, dalam sejarah identik dengan suku Ambon yang dicap Belanda hitam—karena banyak yang melakukan Gelijkgesteld. Steriotip bahwa Ambon identik dengan KNIL telah banyak menjebak orang-orang untuk berpikir bahwa serdadu KNIL banyak yang berasal dari orang-orang Ambon. Sebenarnya sebagian besar serdadu KNIL berasal dari Jawa—saat itu Jawa sudahmenjadi pulau, juga suku, dengan populasi terbesar di Hindia Belanda. Hanya saja prajurit KNIL dari suku Ambon memiliki pengaruh dominan dalam KNIL. 
Orang Ambon bersama orang-orang Menado dan Eropa lainnya adalah formasi terdepan dalam pertempuran. Orang-orang Ambon mungkin lebih dulu direkrut dalam dinas militer kolonial dibanding suku-suku lain di Indonesia—tercatat sejak zaman Kapitan Yonker. Karena hal ini orang-orang Belanda menganggap orang-orang Ambon loyal terhadap pemerintah kolonial—sehingga pemerintah kolonial memberikan orang-orang Ambon—seperti juga orang-orang Minahasa dan Menado—fasilitas yang lebih baik daripada prajurit KNIL dari suku lain.
Karena formasi ini pula timbul pemikiran bahwa orang-orang Jawa tidak loyal—atau mungkin juga tidak mampu bertempur. Pemikiran macam ini jelas salah, banyak juga orang-orang Jawa terpilih untuk menjadi prajurit Marsose—pasukian khusus Belanda yang mampu bergerilya dan beradu klewang dengan pertempuran jarak dekat. Bukti ini dalam dilihat dalam kerkof (kuburan militer) di Aceh—terdapat nama-nama Jawa, Ambon, Menado yang gugur sebagai prajurit Marsose. Beberapa orang Jawa juga telah mendapatkan medali kehormatan militer Belanda atas keberanian mereka dalam pertempuran—Militaire Willemsorde kelas IV. 
Karena diskriminasi fasilitas dalam KNIL—selain karena sedang terjadi revolusi kemerdekaan yang hebat di Jawa—mengakibatkan tidak ada rekrutmen serdadu KNIL lagi di Jawa dalam jumlah besar. Bekas KNIL suku Jawa—yang setelah Jepang menduduki Indonesia dibebaskan oleh Jepang—lebih senang menjadi prajurit TNI yang belum mapan daripada bergabung kembali masuk KNIL yang diskriminatif. Ambil contoh Soeharto, Gatot Subroto dari kelompok bintara.
Dari kelompok bintara ini KNIL, banyak yang kemudian diterima oleh Jepang untuk dijadikan perwira dalam PETA. Tentara pendudukan Jepang tidak menerima bekas perwira karena telah menerima pengaruh profesionalisme barat. Kepada prajurit PETA, para Jepang instruktur Jepang cenderung mendiskreditkan KNIL. Pamoe Rahardjo, mantan PETA, menulis: “saya lalu teringat dalam indoktrinasi sewaktu di PETA, selalu diajarkan bahwa KNIL adalah pasukan yang menjadi musuh pokok bangsa Indonesia”. 

Isu lainnya.
Banyak orang berpendapat bahwa orang-orang yang bekjerja untuk kepentingan pemerintah kolonial akan mendeapat banyak kesenangan. Hal ini tidak berlaku bagi KNIL. Sebagai serdadu KNIL mereka mendapat uang yang mungkin cukup untuk hidup dan sedikit bersenang-senang. Sebagai alat pemerintah mereka seolah diberi predikat pahlawan dimana orang-orang di Hindia menghormati mereka. Hal yang terjadi pada prajurit KNIL itu bukan sebagai orang yang dihormati sebagai pahlawan yang menegakan kekuasaan kolonial di nusantara. Serdadu KNIL, terutama prajurit rendahan sebenarnya berada dalam kondisi terisolasi dalam struktur masyarakat kolonial. Bukan hanya ketika sedang mengikuti ekspedisi namun ketika berada di garnisun tentara ketika tidak berperang. Meraka, prajurit KNIL itu hanya bisa bergantung pada diri sendiri dan kawan-kawan seprofesinya. Penduduk kota biasanya memandang sebelah mata pada mereka, para serdadu KNIL. 
Mereka tidak temukan kenyamanan untuk bergaul dengan orang-orang biasa diluar tangsi kecuali kedai minum dan tempat prostitusi karena kebiasaan mereka pada minuman dan wanita. karenanya, prajurit itu lebih nyaman berada ditengah kawan-kawan KNIL-nya. Hal ini semakin lama makin mengisolasikan mereka baik dari masyarakat kolonial bangsa Eropa maupun orang-orang pribumi. Dimata banyak orang-orang pribumi profesi prajurit kolonial adalah rendah. Mungkin orang memandang mereka pembunuh, penzinah dan pemabuk—bukan karena mereka mematah perlawanan lokal di nusantara untuk kerajaan Belanda. Serdadu bawahan KNIL secara turun-temurun telah dijadikan kelas terhina dalam masyarakat kolonial. 
Kehinaan dimasa kolonial jelas mereka rasakan, apalagi setelah revolusi kemerdekaan RI, dimana banyak hal kehinaan yang mereka terima. Rakyat Indonesia, setelah revolusi pasti begitu membenci hal-hal berbau kolonial, apalagi tentara kolonial yang menjadi alat penjajah di nusantara. Bekas KNIL pasca revolusi pasti meramalkan akan adanya kehinaan yang mereka terima dimasa-masa Indonesia merdeka. Kehinaan itu tentu diikuti dengan rasa permusuhan orang-orang opurtunis kini pro Republik pasti merasa bisa berbuat semaunya karena republik tampil sebagai pemenang. KNIL, dalam sejarahnya tidak mau menjadi pecundang, mereka telah patahkan banyak perlawanan rakyat lokal. Sangat tidak mungkin bagi mereka menerima penghinaan dari orang-orang pasca revolusi yang pro republik. Penghinaan yang akan diterima pasti lebih menyakitkan. Bukan lagi dianggap hina namun lebih dihinakan lagi. Dendam historis pasti banyak terjadi pasca revolusi 

Referensi :

Raymond Pierre Paul Westerling


“Ketika para perwira Inggris tidak mengirimkan pasukan Gurkhanya yang gagah berani itu. Westerling dengan KNIL nya menyelesaikan tugas-tugas  dengan keberanian yang luar biasa, dan ia amat dikagumi di Medan.” (Medan, November 1945. JJ van de Velde)

Westerling lahir pada 31 Agustus 1919 di Istanbul, Turki sebagai anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling, yang dijuluki "si Turki" karena lahir di Istambul. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham. Dia termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.                    
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Pasukan Khusus Cadangan) di Medan. Anggota DST  pimpinan Westerling ini direkrut dari prajurit KNIL terbaik, kemudian mendapat pendidikan khusus komando di Polonia. Akhirnya terpilihlah 150 prajurit terbaik, di antara mereka terdapat orang-orang Indo dan Maluku.
Pada Desember 1946, bersama pasukannya dan pasukan lain, ditugaskan di Sulawesi Selatan untuk menangani kerusuhan yang ditimbulkan oleh pasukan Indonesia (usaha penumpasan kerusuhan ini disebut sebagai Counter Insurgency). Dalam konflik bersenjata ini Westerling bertindak diluar batas kewenangannya sebagaimana yang tertulis dalam buku hukum militer VPTL (Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger). Rupanya pemerintah Hindia Belanda amat menganggap buku VTPL merupakan pedoman counter Insurgency yang harus dipatuhi. Tindakan diluar hukum militer antara lain berbentuk apa yang diberitakan surat kabar sebagai "Peristiwa Pembantaian Westerling". Dalam poster yang beredar di Jawa, Westerling dan pasukannya dituduh telah membantai 40.000 orang penduduk, walaupun angka ini belum pernah dibuktikan kebenarannya. Menyadari ini semua dan atas desakan sejumlah petinggi di Makassar dan Batavia, pemerintah Hindia Belanda ahirnya menarik Westerling.
Tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit terjun payung. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Atas pelanggaran hokum militernya di Jawa Barat pada pertengahan April 1948, dilanjutkan juga perbuatan pelanggaran hukum militer ditempat lain, maka berdasarkan keputusan Panglima KNIL Jenderal Spoor pada tanggal 16 November 1948, Westerling diberhentikan sebagai komandan DST dan dinas militer.
Pada akhir tahun 1949, Westerling kembali mengumpulkan sejumlah orang bersenjata, serta mengadakan latihan-latihan kemiliteran. Para anggotanya adalah para prajurit KNIL yang tidak bersedia pindah kepada kesatuan APRIS dan KST yang belum sempat di deportasi ke Belanda. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan "Angkatan Perang Ratu Adil" (APRA).
Kegiatan aksinya dimulai di Bandung tanggal 23 Januari 1950, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong. Namun karena sorotan media internasional aksi ini kemuadian gagal.  
Westerling atas dukungan sejumlah pejabat sipil dan militer, berhasil diloloskan keluar negeri. Inggris yang menangkapnya di Singapura, menolak untuk mengextradisikannya kembali ke Indonesia. Pada April 1952 Westerling  kembali ke Belanda melalui Belgia dan hidup bebas seperti warga negara Belanda lainnya.
Di Belanda kembali Westerling mengeluarkan pernyataan kontroversi dengan sombongnya Westerling pernah mengatakan bahwa dia enggan membunuh Presiden Soekarno ketika berpetualang di Indonesia, karena Bung Karno hanya berharga 5 sen, sedangkan proyek itu memerlukan sebuah peluru seharga 35 sen. Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang selalu mengungkit masa lalunya.

Referensi :
  1. Nederlandsindie.com
  2. Surat-surat dari Sumatera 1928-1949. Jan Johannes van der  Velde. Pustaka Azet . 1987
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling  10 May 2011 20:05 wib 
  4.  walentinawaluyanti.nl
  5. sejarahkita.blogspot.com