Mei 19, 2011

Raymond Pierre Paul Westerling


“Ketika para perwira Inggris tidak mengirimkan pasukan Gurkhanya yang gagah berani itu. Westerling dengan KNIL nya menyelesaikan tugas-tugas  dengan keberanian yang luar biasa, dan ia amat dikagumi di Medan.” (Medan, November 1945. JJ van de Velde)

Westerling lahir pada 31 Agustus 1919 di Istanbul, Turki sebagai anak kedua dari Paul Westerling (Belanda) dan Sophia Moutzou (Yunani). Westerling, yang dijuluki "si Turki" karena lahir di Istambul. Dia masuk dinas militer pada 26 Agustus 1941 di Kanada. Pada 27 Desember 1941 dia tiba di Inggris dan bertugas di Brigade Prinses Irene di Wolverhampton, dekat Birmingham. Dia termasuk 48 orang Belanda sebagai angkatan pertama yang memperoleh latihan khusus di Commando Basic Training Centre di Achnacarry, di Pantai Skotlandia yang tandus, dingin dan tak berpenghuni. Melalui pelatihan yang sangat keras dan berat, mereka dipersiapkan untuk menjadi komandan pasukan Belanda di Indonesia.                    
Pada 20 Juli 1946, Westerling diangkat menjadi komandan pasukan khusus, Depot Speciale Troepen – DST (Pasukan Khusus Cadangan) di Medan. Anggota DST  pimpinan Westerling ini direkrut dari prajurit KNIL terbaik, kemudian mendapat pendidikan khusus komando di Polonia. Akhirnya terpilihlah 150 prajurit terbaik, di antara mereka terdapat orang-orang Indo dan Maluku.
Pada Desember 1946, bersama pasukannya dan pasukan lain, ditugaskan di Sulawesi Selatan untuk menangani kerusuhan yang ditimbulkan oleh pasukan Indonesia (usaha penumpasan kerusuhan ini disebut sebagai Counter Insurgency). Dalam konflik bersenjata ini Westerling bertindak diluar batas kewenangannya sebagaimana yang tertulis dalam buku hukum militer VPTL (Voorschrift voor de uitoefening van de Politiek-Politionele Taak van het Leger). Rupanya pemerintah Hindia Belanda amat menganggap buku VTPL merupakan pedoman counter Insurgency yang harus dipatuhi. Tindakan diluar hukum militer antara lain berbentuk apa yang diberitakan surat kabar sebagai "Peristiwa Pembantaian Westerling". Dalam poster yang beredar di Jawa, Westerling dan pasukannya dituduh telah membantai 40.000 orang penduduk, walaupun angka ini belum pernah dibuktikan kebenarannya. Menyadari ini semua dan atas desakan sejumlah petinggi di Makassar dan Batavia, pemerintah Hindia Belanda ahirnya menarik Westerling.
Tanggal 5 Januari 1948, nama DST diubah menjadi Korps Speciale Troepen – KST (Korps Pasukan Khusus) dan kemudian juga memiliki unit terjun payung. Westerling kini memegang komando pasukan yang lebih besar dan lebih hebat dan pangkatnya dinaikkan menjadi Kapten. Atas pelanggaran hokum militernya di Jawa Barat pada pertengahan April 1948, dilanjutkan juga perbuatan pelanggaran hukum militer ditempat lain, maka berdasarkan keputusan Panglima KNIL Jenderal Spoor pada tanggal 16 November 1948, Westerling diberhentikan sebagai komandan DST dan dinas militer.
Pada akhir tahun 1949, Westerling kembali mengumpulkan sejumlah orang bersenjata, serta mengadakan latihan-latihan kemiliteran. Para anggotanya adalah para prajurit KNIL yang tidak bersedia pindah kepada kesatuan APRIS dan KST yang belum sempat di deportasi ke Belanda. Laporan yang diterima Inspektur Polisi Belanda J.M. Verburgh pada 8 Desember 1949 menyebutkan bahwa nama organisasi bentukan Westerling adalah "Ratu Adil Persatuan Indonesia" (RAPI) dan memiliki satuan bersenjata yang dinamakan "Angkatan Perang Ratu Adil" (APRA).
Kegiatan aksinya dimulai di Bandung tanggal 23 Januari 1950, secara membabi buta Westerling dan anak buahnya menembak mati setiap anggota TNI yang mereka temukan di jalan. 94 anggota TNI tewas dalam pembantaian tersebut, termasuk Letnan Kolonel Lembong. Namun karena sorotan media internasional aksi ini kemuadian gagal.  
Westerling atas dukungan sejumlah pejabat sipil dan militer, berhasil diloloskan keluar negeri. Inggris yang menangkapnya di Singapura, menolak untuk mengextradisikannya kembali ke Indonesia. Pada April 1952 Westerling  kembali ke Belanda melalui Belgia dan hidup bebas seperti warga negara Belanda lainnya.
Di Belanda kembali Westerling mengeluarkan pernyataan kontroversi dengan sombongnya Westerling pernah mengatakan bahwa dia enggan membunuh Presiden Soekarno ketika berpetualang di Indonesia, karena Bung Karno hanya berharga 5 sen, sedangkan proyek itu memerlukan sebuah peluru seharga 35 sen. Indonesia tentu saja geram dengan penghinaan itu. Beberapa kali ada usaha untuk mengekstradisi Westerling ke Indonesia. Sayangnya usaha itu tak pernah terwujud sampai meninggalnya Westerling tahun 1987 dalam usia 68 tahun di Purmerend Belanda. Beberapa jam sebelum meninggal akibat serangan jantung, Westerling dikabarkan marah-marah pada wartawan Belanda yang selalu mengungkit masa lalunya.

Referensi :
  1. Nederlandsindie.com
  2. Surat-surat dari Sumatera 1928-1949. Jan Johannes van der  Velde. Pustaka Azet . 1987
  3. http://id.wikipedia.org/wiki/Raymond_Westerling  10 May 2011 20:05 wib 
  4.  walentinawaluyanti.nl
  5. sejarahkita.blogspot.com





Tidak ada komentar:

Posting Komentar