Toba Samosir adalah sebuah kabupaten di Provinsi sumatera Utara dengan ibukota Balige. Pada akhir tahun 1930an, ketika masih dalam kekuasaan Belanda, daerah Toba Samosir termasuk kedalam Daerah Tingkat II Toba dengan ibukota Balige, berpenduduk 125.000 jiwa, diurus oleh seorang kontrolir yang didampingi aspiran, seorang inspektur polisi, 2 demang, 4 asisten demang, dan 45 raja atau kepala negeri, yang berdasarkan keturunan dipilihmenjadi kepala suatu daerah dimana marganya paling menonjol.
Persiapan menghadapi kedatangan Jepang
Semenjak pemboman Jepang terhadap Pearl Harbour, pemerintah Belanda di Balige sudah mulai mempersiapkan diri menghadapi perang dengan menggali lubang-lubang perlindungan di daerah pedalaman. Namun suasana kehidupan masih berjalan normal, dan roda pemerintahan Daerah Tingkat II Toba dengan kotrolir van de Velde dan Inspektur polisi van der Maas masih berjalan dengan normal.
Pada 22 januari 1942 sebuah pesawat terbang amfibi tiba-tiba mendarat di Danau Toba dekat Balige, ternyata pesawat tersebut adalah pesawat terbang Belanda yang sedang menyelidiki kemungkinan mendaratnya pesawat terbang Jepang dan mengatur persiapan jika seandainya Jepang benar-benar datang dengan pesawat terbang. Sebuah meriam penangkis udara ditempatkan di tepi danau, menyusul kedatangan seorang perwira pada tanggal 15 Februari yang mempersiapkan penempatan satu kompi tentara di Balige.
Pertengahan Maret 1942 suasana di di sekitar Balige sampai ke Porsea sudah semakin dekat dengan ancaman perang. Satu kompi tentara dibawah Kapten Klaas ten Velde sudah ditempatkan di Balige beserta tiga unit tank, satu seksi dibawah Letnan ten Bosch ditugaskan untuk memusnahkan sebuah jembatan gantung di Asahan, arah hilir dari Porsea. Sedangkan satu seksi tentara dibawah pimpinan Letnan Been ditempatkan di Porsea, dan dibawah jembatan yang membentangi sungai Asahan dipasang dinamit untuk diledakkan sebelum tentara Jepang datang. Persiapan yang dilakukan dalam menghadapi kedatangan sedadu Jepang cukup memprihatinkan, karena sebelumnya Balige tidak pernah dipersiapkan secara militer, dan ditambah lagi tentara yang mempertahankan Balige adalah orang-orang perkebunan, guru, pegawai kantor, dan pedangang dari Medan yang tiba-tiba harus jadi militer.
Jalannya pertempuran
Jumat malam 13 Maret, serangan tentara Jepang dimulai atas Porsea, namun tentara Belanda gagal mempertahankan Porsea, bahkan jembatan tidak sempat diledakkan, karena ternyata tentara Jepang secara tak terduga dalam kegelapan malam bergerak lewat danau dengan menggunakan perahu motor yang dirampas di Prapat, serta beberapa buah perahu dengan membawa seorang penduduk sebagai penunjuk jalan. Mereka selanjutnya mendarat dibelakang garis pertahanan tentara Belanda yang tidak menduga sebelumya, sehingga terjadilah kekacauan yang begitu besar. Pasukan Belanda kocar-kacir dan dengan bersusah payah menyelamatkan dirinya masing-masing.
Setelah matahari terbit, Letnan van der Ploeg berangkat ke Porsea dengan salah satu dari tiga tank untuk menyelamatkan tentara yang mungkin masih hidup, namun tidak ditemukan seorang pun. Ketika tentara Jepang mulai menembak dari jembatan, tank itu mundur dan kembali ke Balige. Beberapa saat kemudian dari seorang penduduk diketahui, bahwa semua tentara Belanda yang berhasil ditawan oleh tentara Jepang, telah dihabisi dengan bayonet dan mayatnya dibuang ke Sungai Asahan.
Setelah Porsea jatuh ketangan tentara Jepang, maka pertahanan pun dipusatkan di Laguboti sejak pukul 9 pagi, untuk menghadang tentara Jepang sebelum sampai ke Balige. Laguboti dipertahankan dengan menempatkan dua dari tiga tank yang ada di Balige dibawah Letnan van der Ploeg, ditambah dengan satu seksi pasukan dibawah Letnan ten Bosch yang telah kembali dari Asahan. Sampai menjelang siang kira-kira pukul 11, tidak terdengar kabar dari tentara Belanda di Laguboti, hingga timbul kepanikan di Balige, apalagi tersiar kabar bahwa Laguboti telah jatuh ke tangan tentara Jepang, dan seluruh pasukan serta tank yang ada disana telah dihancurkan. Kapten Klaas ten Velde memutuskan untuk mundur kearah Siborong-borong beserta sisa kompinya dan meledakkan jembatan di atas jurang Tanggabatu 3 km dari Balige untuk memperlambat laju tentara Jepang, sehingga yang tersisa di Balige adalah Kontrolir van de Velde dan Inpektur polisi van der Maas serta para pejabat sipil lainnya.
Namun sekitar pukul 12 tengah hari, Letnan van der Ploeg yang ternyata berhasil lolos dari pertempuran Laguboti tiba di Balige dengan kedua tanknya, setelah mengetahui bahwa komandannya telah mengundurkan diri ke Siborong-borong, ia pun memutuskan untuk menyusul kesana. Demikian akhirnya Balige ditinggalkan tanpa perlawanan.
Toba Samosir Jatuh ke Tangan Jepang
Sekitar jam 1 siang barisan besar tentara Jepang dengan berjalan kaki, sebagian mempergunakan mobil dan sepeda-sepeda hasil rampasan selama perjalanan, tiba di Balige dan menawan para pejabat sipil dan inspektur polisi. Selanjutnya, orang-orang Belanda dipindahkan ke Soposurung daerah perbukitan dekat Balige dan diijinkan untuk tetap menjalankan pemerintahan sipil di Toba hingga akhirnya tanggal 14 Mei para pria diinterniran di penjara Balige, sedangkan wanita dan anak-anak diinterniran di Hepata. Pertengahan Desember 1942, seluruh orang interniran Belanda didindahkan ke Belawan.
Referensi :
http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_1942-1945, 3/3/2010, 20:09 WIB
Surat-surat dari Sumatera 1928-1949. Jan Johannes van der Velde. Pustaka Azet . 1987
http://www.tobasamosirkab.go.id, 5/3/2010, 01:30 WIB
Tidak ada komentar:
Posting Komentar