Mei 19, 2011

Speciale Troepen (DST, RST & KST)

Depot Speciale Troopen (DST) adalah pasukan komando bagian dari Koninklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL) yang mulai dirintis di Indonesia 1946, komandan pertama dari pasukan ini adalah Kapten Schepens yang terluka pada penugasan DST pertama di sekitar Batavia pertengahan 1946. Selanjutnya dia digantikan oleh Letnan (selanjutnya menjadi kapten) Raymond Westerling yang terus membentuk pasukan ini hingga semakin kuat. Akhir tahun 1948 Westerling kemudian digantikan Letnan-Kolonel van Beek hingga Maret 1949 Letnan-Kolonel Borghouts  menjadi komanadan terakhir. Dibawah komando Westerling pasukan ini banyak terlibat kontak dengan laskar pemuda di Medan sebelum akhirnya diterjunkan ke Zuid Celebes/Sulawesi Selatan.
Reputasi DST menjadi terkenal karena kekejamannya di Sulawesi, pasukan ini dilatih keras dengan kemampuan counter guerilla untuk menghadapi gerilyawan Indonesia. Anggota DST direkrut dari prajurit reguler terbaik, kemudian mendapat pendidikan khusus komando. Akhirnya terpilihlah 150 prajurit terbaik, di antara mereka terdapat orang-orang Indo dan Maluku.
Menurut kesaksian Peter van Haalem mantan DST yang semula sebagai prajurit sukarela ditugaskan di Semarang. Setelah lolos seleksi KST, dia selanjutnya menjalani pendidikan komando di Polonia. “Pendidikannya sangat berat,” tulis Van Haalem.
Sementara Van Groenendaal yang juga mantan DST menambahkan bahwa pendidikan komando selain menguji ketahanan fisik hingga ambang batas, juga mental. “Segala jenis rasa ngeri dan takut yang dimiliki oleh manusia umum, dalam pendidikan komando itu diajari untuk bisa mengendalikannya. Dan jika seseorang telah menyelesaikan pendidikan komando ini, maka dia sudah siap…”Westerling sebelum berangkat ke Sulawesi bahkan mengingatkan “kalau ada di antara kalian yang tidak sanggup berjalan dalam genangan darah sampai polok kaki  (enkel), maka katakan sekarang juga bahwa kalian tidak sanggup. Namun saat itu tidak ada prajurit yang mengundurkan diri,” (Andere Tijden)
Pada tanggal 7 Desember 1946 pasukan ini membantai banyak warga sipil di Sulawesi Selatan. Bahkan tentara Belanda "asli" yang didatangkan dari Belanda pun protes atas kelakuan brutal pasukan ini.
Setelah penugasan di Sulawesi yang dianggap “sukses” DST terus ditingkatkan kekuatan dan kemampuannya.  School Opleiding Parachutisten (sekolah penerjun payung)  didirikan pada 15 Maret 1946 di Cimahi Jawa Barat dan berada dibawah Korps Speciale Troepen, sebagai salah satu tempat pendidikan. Jenderal Spoor, Panglima Militer Hindia Belanda menyadari efektifnya pasukan payung dalam sebuah operasi militer. Apalagi dalam merebut kembali wilayah-wilayah yang dikuasai Republik Indonesia. Oleh karena itu dibentuklah sekolah penerjun militer School Opleiding Parachutisten (SOP) Tjimahi dengan siswa gelombang pertama sebanyak satu kompi berasal dari pasukan DST.
Siswa-siswa ini terbang dengan pesawat C-47 Militaire Luchtvaart dari lapangan terbang Andir Bandung. Mereka melompat dari ketinggian 900 kaki di atas langit Cimahi dan mendarat di sebuah lapangan militer kota itu (sekarang lapangan ini sudah menjadi perumahan dan pasar di Jalan Sriwijaya Cimahi).
Setelah mendapat pendidikan, gelombang pertama lulus pada 1 Mei 1947 dan berhak mendapat wing penerjun. Tanggal 7 dilantik oleh Jenderal Spoor pada sebuah acara di lapangan terbang Cililitan (sekarang Lanuma Halim Perdanakusumah), sebagai 1st  Parachutisten Compagnie dan mendapat baret khas warna merah marun
Pada Januari 1948 dibentuk Korps Speciale Troepen (KST) dengan pasukan inti dari DST  berbaret hijau berkekuatan 570 pasukan dan 1st Parachutisten Compagnie berbaret merah marun  berkekuatan sekitar 250 pasukan, dalam perkembangannya KST mencapai kekuatan 1250 pasukan yang terdiri atas sukarelawan perang Belanda, Indo Eropa dan pribumi Indonesia termasuk orang Maluku.
Operasi pertama gabungan dari DST dan 1st Parachutisten Compagnie dilakukan ketika merebut Yogyakarta dengan nama Operatie Kraai. Setelah Yogya, pasukan Para juga terjun di Sumatera Tengah. Pada 29 Desember 1948 merebut kota Jambi dan 5 Januari 1949 di Rengat dan Air Molek. Tanggal 10 Maret 1949 mereka kembali terjun di Jawa Tengah. Kali ini dilakukan oleh Kompi 2 (2e Para Compagnie), di lapangan terbang kecil Gading di tenggara luar kota Yogya. Tujuannya merebut stasiun pemancar radio perjuangan, milik Republik di sekitar Wonosari. Pada tanggal 15 Juli 1949, DST dan Parachutisten Compagnie  digabungkan dan Korps berubah menjadi Regiment Speciale Troepen.
Setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember1949, pasukan ini menolak dilebur ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat). Mereka bersikeras menjadi Tentara Negara Pasundan, negara boneka bentukan Belanda yang akan dibubarkan. Karena tuntutannya ditolak, tanggal 23 Januari 1950 mereka berontak dan mengacau di kota Bandung. Dipimpin mantan komandannya, Kapten Westerling, mereka menamakan diri Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Setiap anggota TNI yang mereka jumpai langsung dibunuh. Akibat serangan mendadak ini jatuh korban 79 prajurit TNI gugur.
Pada tanggal 20 Juli 1950 KNIL didemobilisasi (dibubarkan), termasuk resimen ini. Pasukan komando Belanda yang ada saat ini yaitu Korps Commando Troepen (KCT), merupakan penerus dari Korps Speciale Troepen atau Regiment Speciale Troepen (KST/RST). Demikian juga dengan SOP Tjimahi turut ditutup setelah bubarnya KNIL.

Referensi :                                    
4.       Nederlandsindie.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar